Free Bitcoins every 24 hours.">QoinPro.com: Free Bitcoins every 24 hours

Sabtu, 15 Maret 2014

makalah hakikat dan fungsi bahasa

KATA PENGANTAR


Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayahnya kepada kita semua, sehingga berkat karunianya penulis masih berkesempatan untuk menyelesaikan makalah hakikat dan fungsi bahasa untuk memenuhi tugas mata kuliah pragmatik.
            Dalam penyusunan makalah ini, penulis tidak lupa menyampaikan ucapan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu memberi masukan dan terlibat dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
            Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bukan saja kepada penulis, tetapi juga bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya.



DAFTAR ISI


Halaman Judul 
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
1.2  Identifikasi Masalah
1.3  Batasan Masalah
1.4  Rumusan Masalah
1.5  Tujuan
1.5.1     Tujuan Umum
1.5.2     Tujuan Khusus
1.6  Manfaat

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Bahasa Indonesia
2.2 Fungsi Bahasa Indonesia
2.3 Identifikasi Fungsi Bahasa Indonesia

BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan 
3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bahasa adalah kesatuan perkataan beserta sistem penggunaannya yang berlaku umum dalam pergaulan antar anggota suatu masyarakat atau bangsa. Masyarakat atau bangsa merupakan sekelompok manusia atau komunitas dengan kesamaan letak geografi, kesamaan budaya, dan kesamaan tradisi. Dengan demikian, selain memiliki fungsi utama sebagai wahana berkomunikasi, bahasa juga memiliki peran sebagai alat ekspresi budaya yang mencerminkan bangsa penuturnya. Kecakapan berbahasa suatu bangsa mencerminkan budaya bangsa yang terwujud dalam sikap berbahasa itu sendiri. Sikap berbahasa yang dilandasi oleh kesadaran berbahasa akan membangun rasa cinta, bangga, dan setia terhadap bahasa dan terhadap bangsa.
Dengan demikian,Bahasa Indonesia adalah bahasa yang menjadi wahana komunikasi dan alat ekspresi budaya yang mencerminkan eksistensi bangsa Indonesia. Pengembangan sikap berbahasa yang mencakup kemahiran berbahasa Indonesia dalam wadah pendidikan formal (sekolah) dilaksanakan melalui mata pelajaran atau mata kuliah Bahasa Indonesia. Dengan demikian hakekat pembelajaran Bahasa Indonesia adalah pembelajaran untuk menjadikan peserta didik memiliki kemahiran berbahasa Indonesia baik dalam berkomunikasi lisan maupun tertulis yang mencerminkan kesadaran berbahasa sebagai bangsa Indonesia yang telah menetapkan bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara.
Kemahiran berbahasa Indonesia harus selalu diupayakan oleh seluruh penuturnya agar memiliki sikap berbahasa yang positif. Sikap berbahasa positif itu akan membawa sikap setia, bangga, dan cinta kepada bahasa Indonesia. Dengan demikian, bahasa Indonesia dapat


memenuhi fungsi luhurnya sebagai alat pemersatu bangsa. Bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa, mungkin lebih efektif dibandingkan alat-alat pemersatu yang lain, karena dengan bahasa berarti komunikasi dan saling pengertian antar warga bangsa dapat terwujud. Maka dari itu janganlah sekali-kali melecehkan bahasa Indonesia dalam aktivitas apa pun.


1.2  Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang di atas dapat diidentifikasi beberapa masalah, yaitu sebagai berikut:
1.    Hakikat bahasa
2.    Fungsi bahasa

1.3  Batasan masalah
Agar pembahasan dalam makalah ini tidak terlalu mengambang maka penulis membatasi pembahasannya. Adapun batasan masalah dalam makalah ini adalah membahas masalah hakikat dan fungsi bahasa dalam masyarakat tutur di Indonesia.

1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas maka pembahasan dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Apakah hakikat bahasa Indonesia itu?
2.      Apa fungsi bahasa Indonesia itu?
3.      Apakah yang dimaksud identifikasi fungsi bahasa Indonesia?



1.5 Tujuan

1.5.1             Tujuan Umum
Sebagai syarat untuk mengikuti ujian semester mata kuliah Pragmatik

1.5.2             Tujuan Khusus
1.      Menjelaskan mengenai hakikat bahasa Indonesia
2.      Menjelaskan fungsi bahasa Indonesia
3.      Menguraikan identifikasi bahasa Indonesia   

1.6  Manfaat Penulisan
            Menambah pengetahuan, pengalaman dan wawasan, serta bahan dalam penerapan ilmu metode penelitian, khususnya mengenai gambaran mengenai hakikat dan fungsi bahasa. Sebagai sumber pengetahuan dan pembelajaran untuk dapat memahami dan mempelajari perkembangan mengenai hakikat dan fungsi bahasa.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Bahasa Indonesia
            Banyak ahli yang menjelaskan  hakikat atau pengertian bahasa. Chaer memberikan ciri-ciri yang menunjukkan hakikat bahasa antara lain, bahwa bahasa itu sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam dan manusiawi
Ahli lain yang mendefinisikan hakikat bahasa adalah Bloch & Trager yang dikutip oleh Hasan Lubis,  sebagai berikut :”Language is a system of arbitrary vocal symbol”(bahasa adalah sebuah sistem lambang-lambang vokal yang bersifat arbitrer) Berdasarkan pendefinisian tersebut, Lubis menandai empat hal yang menjadi ciri bahasa, yaitu sistem, artinya keteraturan, dimulai dari bunyi-bunyi, fonem-fonem, morfem-morfem, kata-kata, dan kalimat-kalimat yang semuanya mempunyai sistem atau aturan. Sistem bahasa yang disusun tersebut dilambangkan dengan lambang bahasa yang memiliki makna. Vokal, dalam definisi yang disampaikan oleh Lubis mengacu pada alat ucap, ia mengatakan bahwa bahasa adalah lambang-lambang yang diucapkan dengan teratur. Sedangkan pengertian arbitrer ia jelaskan dengan istilah manasuka.
Semenara Prof, Anderson mengemukakan delapan prinsip dasar mengenai hakikat bahasa:
1.            Bahasa adalah suatu system
2.            Bahasa adalah vocal
3.            Bahasa tersusun dari lambang-lambang   mana suka
4.            Setiap bahasa bersifat khas, unik
5.            Bahasa dibangun dari kebiasaan-kebiasaan
6.            Bahasa adalah alat komunikasi
7.            Basasa berhubungan erat dengan budaya asalnya
8.            Bahasa itu berubah-ubah (Anderson; 1972:35-6)

H. Dauglas Brown, setelsh menelaah batasan bahasa dari enam sumber, membuat rangkuman sebagai berikut:
1.            Bahasa adalah suatu sistem yang sistematis, barangkali juga untuk sistem generatif
2.            Bahasa adalah seperangkat lambang-lambang mana suka atau simbol-simbol arbiter
3.            Lambang tersebut terutama sekali bersifat vokal tetapi mungkin juga bersifat visual
4.            Lambang itu mengandung makna konvensional
5.            Bahasa dipergunakan sebagai alat komunikasi
6.            Bahasa beroprasi dalam suatu masyarakat bahasa atau budaya
7.            Bahasa pada hakikatnya bersifat kemanusiaan, walaupunn mungkin tidak terbatas pada manusia saja
8.            Bahasa diperoleh semua orang atau bangsa dengan cara yang hamper bersamaan; bahasa dan belajar bahasa mempunyai ciri-ciri kemestaan (Brown,1980:5)

Beradasrkan pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat bahasa itu adalah sebuah sistem yang terdiri atas subsistem-subsistem yang memiliki aturan tersendiri, sistem bahasa tersebut dilambangkan dengan lambang bunyi bahasa yang memiliki makna dan bersifat arbitrer yang berdasarkan konvensi masyarakat tutur (Speech Community). Selain itu, bahasa bersifat produktif artinya dengan unsur yang terbatas dapat menghasilkan ujaran yang tidak terbatas serta bahasa akan berubah seiring perkembangan zaman dan manusia karena bahasa bersifat dinamis dan manusiawi atau hanya dimiliki dan dipakai atau digunakan oleh manusia.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, manusia dalam kehidupan sehari-hari selalu memakai bahasa sebagai alat penyampai pesan, ide, gagasan dan pikirannya pada orang lain. Wardhaugh mengatakan bahwa fungsi bahasa adalah alat komunikasi manusia baik tertulis maupun lisan. Dengan demikian, sangat jelas sebagai alat komunikasi, manusia memakai bahasa sebagai jembatannya dan secara tidak langsung manusia telah menggunakan fungsi bahasa.

2.2 Fungsi-Fungsi Bahasa Indonesia
            Berbicara mengenai fungsi bahasa sebagai alat komunikasi manusia, beberapa ahli telah menjabarkan fungsi-fungsi bahasa tersebut. Finocchinario yang dikutip oleh Lubis membagi lima fungsi bahasa yaitu :
1.            Fungsi Personal, adalah kemampuan pembicara dalam hal pembicaraannya, misalnya cinta, kesenangan, kekecewaan, kesusahan, kemarahan dan sebagainya.
2.            Fungsi Interpersonal, adalah kemampuan untuk membina dan menjalin hubungan kerja dan hubungan sosial dengan orang lain, misalnya rasa simpati dan rasa senang atas keberhasilan orang lain, kekhawatiran dan sebagainya.
3.            Fungsi Direktif, memungkinkan pembicara untuk mengajukan permintaan, saran, membujuk, meyakinkan dan sebagainya.
4.            Fungsi referensial, yang berhubungan dengan kemampuan untuk menulis atau berbicara tentang lingkungan kita yang terdekat dan juga mengenai bahasa itu sendiri  
5.            Fungsi Imajinatif, kemampuan untuk dapat menyusun irama, sajak, cerita tertulis maupun lisan


Sementara itu, Halliday yang dikutip Tarigan membagi fungsi bahasa ke dalam tujuh fungsi, yaitu :
1.            Fungsi Instrumental, melayani pengelolaan lingkungan, menyebabkan peristiwa-peristiwa tertentu terjadi.
2.            Fungsi regulasi, bertindak untuk mengawasi serta mengendalikan peristiwa-peristiwa.
3.            Fungsi Representasional, penggunaan bahasa untuk membuat pernyataan-pernyataan, menyampaikan fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan atau melaporkan atau dengan kata lain menggambarkan realitas yang sebenarnya seperti yang dilihat seseorang.
4.            Fungsi Interaksional, bertugas untuk menjamin serta memantapkan ketahanan dan kelangsungan komunikasi sosial.
5.            Fungsi Personal, memberi kesempatan pada seseorang pembicara untuk mengekspresikan perasaan, emosi, pribadi, serta reaksi-reaksinya yang mendalam.
6.            Fungsi Heuristik, melibatkan penggunaan bahasa untuk memperoleh ilmu pengetahuan, mempelajari seluk-beluk lingkungan.    
7.            Fungsi Imajinatif, melayani penciptaan sistem-sistem atau gagasan-gagasan yang bersifat imajinatif.
Dari paparan dua ahli di atas, pada dasarnya terdapat kesamaan dalam hal pembagian fungsi bahasa sebagai alat komunikasi manusia, tetapi yang paling mendasar yang harus dikuasai oleh manusia sebagai pengguna bahasa untuk kepentingan komunikasi dengan manusia yang lain adalah fungsi interaksional (Halliday), atau interpersonal (Finocchinario) karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa bekerja sendiri dan memerlukan bantuan orang lain serta selalu membutuhkan hidup bersama.
2.3 Identifikasi Fungsi Bahasa Indonesia
             Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia memancarkan nilai-nilai  sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Keluhuran nilai yang dicerminkan bangsa Indonesia kita harus bangga dengannya, menjunjungnya, dan kita harus mempertahankannya.
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan lambang bangsa Indonesia. Ini berarti, dengan bahasa Indonesia akan dapat diketahui siapa kita, yaitu sifat, perangai, dan watak kita sebagai bangsa Indonesia.
Dengan fungsi yang ketiga memungkinkan masyarakat Indonesia yang beragam latar belakang sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan bersatu dalam kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib yang sama.
Dengan fungsi keempat, bahasa Indonesia sering kita rasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai media berkomunikasi dengan seseorang yang berasal dari suku lain yang berlatar belakang berbeda, kita dapat bertukar pikiran dan saling memberikan informasi. Bagi pemerintah, segala kebijakan dan strategi yang berhubungan dengan ideology, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan mudah diinformasikan.
Bahasa Indonesia berfungsi pula sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan. Setelah itu, harus menggunakan bahasa Indonesia. Karya-karya ilmiah di perguruan tinggi (baik buku rujukan, karya akhir mahasiswa-skripsi, tesis, disertasi, dan hasil atau laporan penelitian) yang ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia, menunjukan bahwa bahasa Indonesia telah mampu sebagai alat penyampaian iptek, dan sekaligus menepis anggapan bahwa bahasa Indonesia belum mampu mewadahi konsep-konsep iptek.



BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hakikat, Fungsi, dan Identifikasi Fungsi Bahasa Indonesia
1.       Hakikat bahasa Indonesia 
Hakekat Bahasa Indonesia adalah kemahiran berbahasa Indonesia baik dalam berkomunikasi lisan maupun tertulis yang mencerminkan kesadaran berbahasa sebagai bangsa Indonesia yang telah menetapkan bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara.
2.       Fungsi bahasa Indonesia
a.  Sebagai lambang kebanggaan nasional
b.  Sebagai identitas nasional (jati diri, ciri khas)
c.   Alat pemersatu berbagai suku bangsa yang berbeda-beda latar
    belakang budaya dan bahasanya
d.  Alat penguhubung antar daerah sebagai bahasa nasional
3.      Identifikas Fungsi Bahasa Indonesia
Fungsi bahasa Indonesia selain sebagai lambang kebanggaan nasional juga sebagai identitas nasional atau jati diri bangsa Indonesia. Selain itu bahasa Indonesia juga bisa digunakan sebgai alat permersatu berbagai suku bangasa yang ada di Indonesia. Bahasa Indonesia juga mempermudah seluruh bangsa Indonesia dalam berkomunikasi baik dalam situasi formal maupun informal, bahasa Indonesia juga dipakai dalam lembaga-lembaga nasional.

3.2 Saran
      Dalam menggunakan bahasa Indonesia kita harus menerapkan konsep dasar dalam berbahasa serta mengembangkan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dan tetap menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari pada saat beraktifitas.

DAFTAR PUSTAKA

·        Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Pragmatik. bandung: Angkasa
·        Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta

·        Chaer, Abdul. 2010. Sosoilinguistik Perkenalan Awal. Jakarta : Rineka Cipta

makalah bilingualisme dan diglosia

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayahnya kepada kita semua, sehingga berkat karunianya penulis masih berkesempatan untuk menyelesaikan makalah Bilingualisme dan diglosia untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiolinguistik.
                Dalam penyusunan makalah ini, penulis tidak lupa menyampaikan ucapan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu memberi masukan dan terlibat dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
                Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bukan saja kepada penulis, tetapi juga bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya.

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL 
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI 
BAB I PENDAHULUAN
1.1   Latar Belakang Masalah 
1.2   Rumusan masalah
1.3   Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Bilingualisme
2.2 Diglosia
2.3 Kaitan Bilingualisme dan diaglosa

BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan 
3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN

A.            Latar Belakang

Dalam kehidupan masyarakat, manusia memiliki alat komunikasi dan interaksi yaitu sebuah bahasa. Sebenarnya manusia juga dapat menggunakan alat komunikasi lain selain bahasa. Namun, tampaknya bahasa merupakan alat komunikasi yang paling baik, paling sempurna dibandingkan dengan alat komunikasi lain, seperti alat komunikasi yang dipakai hewan. Dalam setiap komunikasi, manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung agar terjadi interaksi yang baik antar masyarakat.
Masyarakat yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat tutur lain, entah karena letaknya yang jauh terpencil atau karena sengaja tidak mau berhubungan  dengan masyarakat tutur lain, maka masyarakat tutur ini akan tetap menjadi masyarakat tutur yang statis dan tetap menjadi masyarakat yang monolingual. Sebaliknya, masyarakat tutur yang terbuka, artinya yang mempunyai hubungan dengan masyrakat tutur lain tentu akan mengalami apa yang disebut kontak bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan sebagai akibatnya. Peristiwa-peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa adalah apa yang di dalam sosiolingistik disebut bilingualisme dan diglosia.
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki ragam bahasa yang sangat banyak. Sehingga menyebabkan banyaknya suku-suku bangsa di Indonesia yang memiliki bahasa yang berbeda-beda, inilah yang memungkinkan masyarakat


Indonesia memiliki dan menggunakan lebih dari satu bahasa. Penggunaan lebih dari satu bahasa ini disebut dengan bilingualisme dan pengguna bahasa lebih dari satu bahasa disebut bilingual. Meskipun demikian, Indonesia hanya memiliki satu bahasa yang kemudian dijadikan bahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia.
Dalam makalah ini, akan dibicarakan tentang bilingualisme dan diglosia, serta hubungan atau kaitan antara keduanya.

B.       Rumusan Masalah
Pada pembahasan di atas dapat diidentifikasi rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana definisi dari bilingualisme?
2.      Bagaimana definisi dari diglosia?
3.      Bagaimana hubungan dari bilingualisme dan diglosia?

C.      Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah di atas dapat diambil tujuan masalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pengertian dari bilingualisme.
2.      Untuk mengetahui pengertian dari diglosia.
3.      Untuk mengetahui hubungan dari bilingualisme dan diglosia.


BAB II
PEMBAHASAN

A.            Bilingualisme

Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik, bilingual diartikan sebagai pengguanaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1992:12, Fishman 1997:73). Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasawanan).
Konsep umum bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa oleh seseorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian telah menimbulkan sejumlah masalah yang biasa dibahas kalau orang membicarakan bilingualisme. Masalah-masalah itu adalah (Dittmer 1976:170):
1.      Sejauh mana taraf kemampuan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik) sehingga dia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?
2.      Apa yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme ini? Apakah bahasa dalam pengertian langue, atau sebuah kode, sehingga bisa termasuk sebuah dialek atau sosiolek.
3.      Kapan seorang bilingual mengguankan kedua bahasa itu secara bergantian? Kapan dia harus menggunakan B1-nya, dan kapan pula harus menggunakan B2-nya? Kapan pula dia dapat secara bebas untuk dapat menggunakan B1-nya atau B2-nya?
4.      Sejauh mana B1-nya dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya?
5.      Apakah bilingualisme itu berlaku pada perseorangan (seperti disebut dalam konsep umum) atau juga berlaku pada satu kelompok masyarakat tutur?
Untuk dapat menjawab pertanyaan pertama, “Sejauh mana penguasaan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik karena merupakan bahasa ibu) sehingga ia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?”
Bloomfield dalam bukunya yang terkenal Language (1933:56) mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Jadi, seseorang dapat disebut bilingual apabila dapat menggunakan B1 dan b2 dengan derajat yang sama baiknya. Robert Lado (1964:214) mengatakan, bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknik mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimanapun tingkatnya. Jadi, penguasaan terhadap kedua bahasa itu tidak perlu sama baiknya, kurang pun boleh. Menurut Haugen (1961) tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual. Menurut Haugen selanjutnya, seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, tetapi cukup kalau bisa memahaminya saja. Haugen juga mengatakan, mempelajari bahasa kedua, apalagi bahasa asing, tidak dengan sendirinya akan memberi pengaruh terhadap bahasa aslinya. Lagi pula seseorang yang mempelajari bahasa asing, maka kemampuan bahasa asingnya atau B2-nya akan selalu berada pada posisi di bawah penutur asli bahasa itu.
           
Dari pembicaraan di atas dapat disimpulkan sebagai jawaban terhadap pertanyaan pertama bahwa pengertian bilingualisme akhirnya merupakan satu rentengan berjanjang mulai menguasai B1 (tentunya dengan baik karena bahasa ibu sendiri) ditambah tahu sedikit akan B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang berjenjang meningkat, sampai menguasai B2 itu sama baiknya dengan penguasaan B1. Kalau bilingual sudah sampai tahap ini, maka berarti seorang yang bilingual itu akan dapat menggunakan B1 dan B2 sama baiknya, untuk fungsi dan situasi apa saja dan di mana saja.
Pertanyaan kedua, “Apakah yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme. Apakah bahasa itu sama dengan langue, atau bagaimana?” Bloomfield (1933) mengatakan, bahwa menguasai dua buah bahasa, berarti menguasai dua buah sistem kode. Kalau yang dimaksud oleh Bloomfield bahwa bahasa itu adalah kode, maka berarti bahasa itu bukan langue, malainkan parole, yang berupa berbagai dialek dan ragam. Menurut Mackey (1962:12), bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur. Untuk pengguanan dua bahasa diperlukan penguasaan kedua bahasa itu dengan tingkat yang sama. Jadi, jelas yang dimaksud dengan bahasa oleh Mackey adalah sama dengan langue. Tetapi pakar lain, Weinrich (1968:12) memberi pengertian bahasa dalam arti luas, yakni tanpa membedakaan tingkatan-tingkatan yang ada di dalamnya. Bagi Weinrich menguasai dua bahasa berarti menguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam dari bahasa yang sama. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Haugen (1968:10) yang memasukan penguasaan dua dialek dari satu bahasa yang sama ke dalam bilingualisme. Demikian juga pendapat Rene Appel (1976:176) yang mengatakan bahwa apa yang dimaksud dua bahasa dalam bilingualisme adalah termasuk juga dua variasi bahasa.
Dari pembicaraan di atas dapat dilihat bahwa yang dimaksud dengan bahasa di dalam bilingualisme itu sangat luas, dari bahasa dalam pengertian langue sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah bahasa. Kalau yang dimaksud dengan bahasa adalah dialek juga, maka hampir semua anggota masyarakat Indonesia adalah bilingual, kecuali anggota masyarakat tutur yang jumlah anggotanya sedikit, letaknya terpencil, dan di dalamnya hanya terdapat satu dialek dari bahasa itu.
Pertanyaan ketiga, “Kapan seorang bilingual mengguankan kedua bahasa yang dikuasai secara bergantian? Kapan harus menggunakan B1-nya, kapan pula harus menggunakan B2-nya dan kapan pula dia dapat secara bebas dapat memilih untuk menggunakan B1-nya atau B2-nya?”
 Mengenai pertanyaan ketiga, kapan B1 harus digunakan dan kapan B2 harus dipakai. Pertanyaan ini menyangkut masalah pokok sosiolinguistik, “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa”. B1 pertama-tama dan terutama dapat digunakaan dengan para anggota masyarakat tutur yang sama bahasanya dengan penutur. Penggunaan B1 dan B2 tergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan situasi sosial pembicaraan. Jadi, penggunaan B1 dan B2 tidaklah bebas. Masalah ketiga, kapan seorang penutur bilingual dapat secara bebas menggunakan B1 atau B2 adalah agak sukar dijawab. Dalam catatan sosiolinguistik hanya didapati adanya satu masyarakat tutur bilingual yang dapat secara bebas menggunakan salah satu bahasa yang terdapat dalam masyarakat tutur itu, yaitu di Monteral, Kanada.
Pertanyaan keempat, “sejauhmana B1 seorang penutur bilingual dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya.”
Pertanyaan ini menyangkut masalah kefasihan menggunakan kedua bahasa itu, dan kesempatan untuk menggunakannya. Penguasaan B1 oleh seorang bilingual adalah lebih baik daripada penguasaannya terhadap B2, sebab B1 adalah bahasa ibu, yang dipelajari dan digunakan sejak kecil dalam keluarga, sedangkan B2 adalah bahasa yang baru kemudian dipelajari, yakni setelah menguasai B1. Dalam keadaan penguasaan terhadap B1 lebih baik  dari pada B2, dan juga kesempatan untuk mengguankannya lebih luas, maka ada kemungkinan B1 si penutur akan mempengaruhi B2-nya. Seberapa jauh pengaruh B1 terhadap B2 adalah tergantung pada tingkat penguasaannya terhadap B2. Kekurang fasihan seorang penutur bilingual terhadap B2, sehingga B2-nya sering dipengaruhi oleh B1-nya lazim terjadi pada para penutur yang sedang dipelajari B2 itu (Nababan, 1984:32).
Mungkinkah B2 seorang penutur bilingual akan mempengaruhi B1-nya? kemungkinan itu akan ada kalau si penutur biligual itu dalam jangka watu yang cukup lama tidak menggunakan B1-nya, tetapi terus menerus mengguanakn B2-nya.
Pertanyaan kelima, “apakah bilingualisme itu terjadi pada perseorangan atau pada sekelompok penutur atau yang lazim disebut satu masyarakat tutur?”
Pertanyaan ini menyangkut hakikat bahasa dalam kaitanya dengan menggunakannya dalam masyarakat tutur biligual. Mackey (1968:554-555) berpendapat bahwa bilingualisme bukan gajala bahasa, melainkan sifat penggunaan bahasa yang diguanakan penutur biligual secara berganti-ganti. Bilingualisme juga bukan ciri kode, melainkan ciri ekspresi atau pengungkapan seorang penutur. Begitupun bukan bagian dari langue, melainkan bagian dari parole. Mackey juga mengungkapkan kalau bahasa itu memiliki kelompok atau milik bersama suatu masyarakat tutur, maka bilingualisme adalah milik individu-individu para penutur, sebab pengguaan bahasa secara bergantian oleh seorang penutur bilingual mengharuskan adanya dua masyarakat tutur yang berbeda. Menurut Oksaar (1972:478), bahwa bilingualisme bukan hanya milik individu, tetapi juga milik kelompok. Sebab bahasa itu pengguaannya tidak terbatas antara individu dan individu saja, melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi antar kelompok.
Chaer (1994) mengatakan, bahasa itu bukan sekedar alat komunikasi saja, melainkan sebagai alat untuk menunjukan identitas kelompok. Konsep bahwa bahasa merupakan identitas kelompok memeberi peluang untuk menyatakan adanya sebuah masyarakat tutur yang bilingual, yang menggunakan dua buah bahasa sebagai alat komunikasinya. Masyarakat tutur yang demikian tidak hanya terbatas pada sekelompok orang, malah bisa juga meluas meliputi wilayah yang sangat luas, mungkin juga meliputi satu negara. Seperti dikatakan Wolf (1974:5) salah satu ciri bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa atau lebih oleh seorang atau sekelompok orang dengan tidak adanya peranan tertentu dari kedua bahasa itu. Artinya, kedua bahasa itu dapat diguanakan kapada siapa saja, kapan saja, dan dalam situasi bagaimana saja. Pemilihan bahasa mana yang harus diguanakan tergantung pada kemampuan si pembicara dan lawan bicaranya.
Keadaan di dalam masyarakat di mana adanya pembedaan pengguaan bahasa berdasarkan fungsi atau peranaanya masing-masing menurut konteks sosialnya, didalam sosiolinguistik dikenal dengan sebutan diglosia.


B.             Diglosia

Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie, yang pernah digunakan oleh Marcais, seorang linguis Prancis. Tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah digunakan oleh seorang sarjana dari Stanford University, yaitu C.A.Ferguson tahun 1958 dalam suatu simposium tenteng “Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar” yang diselenggarakan oleh American Anthropological Association di Washignton DC. Kemudian Ferguson menjadikan lebih terkenal lagi dengan sebuah artikelnya yang berjudul “Diglosia” yang dimuat dalam majalah Word tahun 1959. Artikel Ferguson itu dipandang sebagai referensi klasik mengenai diglosia.
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Definisi diglosia menurut Ferguson adalah:
1.           Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama dari satu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain.
2.           Dialek-dialek utama itu di antaranya, bisa berupa sebuah dialek standar, atau sebuah standar regional.
3.           Ragam lain itu memiliki ciri:
            Sudah terkodifikasi
            Gramatikalnya lebih kompleks
            Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati
            Dipelajari melalui pendidikan formal
            Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
            Tidak digunaakan dalam percakapan sehari-hari
Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan mengetengahkan sembilan topik, yaitu:
1.             Fungsi, merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi (T), dan yang kedua disebut dialek rendah (R).
2.             Prestise, dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya menganggap dialek T lebih bergengsi, lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap inferior, malah ada yang menolak keberadaannya.
3.             Warisan Kesusastraan, pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapat kesusastraan di mana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa tersebut.
4.             Pemerolehan, ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.
5.             Standardisasi, karena ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standardisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kondifikasi formal.
6.             Stabilitas, kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama di mana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu.
7.             Gramatika, Ferguson berpandangan bahwa ragam T dan ragam R dalam diglosia merupakan bentuk-bentuk dari bahasa yang sama. Namun, di dalam gramatika ternyata terdapat perbedaan.
8.             Leksikon, sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun, ada kosakata pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya, ada kosakata ragam R yang tidak ada pasangannya pada ragam T.
9.             Fonologi, dalam bidang bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T dan ragam R. Perbedaan tersebut bisa dekat bisa  juga jauh.
Pada bagian akhir dari artikel Ferguson menyatakan bahwa suatu masyarakat digllosis bisa bertahan dalam waktu yang cukup lama meskipun terdapat “tekanan-tekanan” yang dapat melunturkannya. Tekanan itu antara lain, (1) meningkatkan kemampuan keaksaraan dan meluasnya komunikasi verbal pada satu negara; (2) meningkatnya penggunaan bahasa tulis; (3) perkembangan nasionalisme dengan keinginan adanya sebuah bahasa nasional sebagai lambang kenasionalan suatu bangsa.
Juga dipersoalkan, ragam mana yang akan dipilih menjadi bahasa nasional, ragam T atau ragam R. Dalam hal ini ada dua kemungkinan. Pertama, ragam R dapat menjadi bahasa nasional karena ragam itulah yang dipakai dalam masyarakat. Kedua, ragam T yang akan menjadi bahasa nasional atau bahasa standar, asal saja (1) ragam T itu sudah menjadi bahasa standar pada sebagian masyarakat, (2) apabila masyarakat diglosis itu menyatu dengan masyarakat lain.


C.             Kaitan Bilingualisme dan Diglosia

Diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa dan bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat, maka Fishman (1977) menggambarkan hubungan diglosia dan bilingualisme itu menjadi empat jenis, (1) bilingualisme dan diglosia, (2) bilingualisme tanpa diglosia, (3) diglosia tanpa bilingualisme, (4) tidak bilingualisme dan tidak  diglosia.
Dari keempat pola masyarakat kebahasaan di atas yang paling stabil hanya dua yaitu, (1) diglosia dan bilingualisme, (2) diglosia tanpa bilingualisme. Keduanya berkarakter diglosia, sehingga perbedaanya adalah terletak pada bilingualismenya.



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Bilingualisme atau kedwibahasaan yakni berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara umum dalam sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Diglosia berasal dari bahasa Prancis, diglossie. Diglosia digunakan untuk menyatakan suatu masyarakat yang di sana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranaan tertentu.

B.       Saran
Dengan membaca makalah ini penulis berharap agar para pembaca dapat mengambil hikmah sehingga bisa bermanfaat. Dan tentunya, penulis sadari bahwa dalam makalah ini terdapat banyak kelemahan. Dengan demikian, suatu kegembiraan kiranya jika terdapat banyak kritik dan saran dari pembaca sebagai bahan pertimbangan untuk perjalanan ke depan.



DAFTAR PUSTAKA


            Chaer, Abdul. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.