KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayahnya
kepada kita semua, sehingga berkat karunianya penulis masih berkesempatan untuk
menyelesaikan makalah Bilingualisme dan diglosia untuk memenuhi tugas mata
kuliah Sosiolinguistik.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis tidak lupa
menyampaikan ucapan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
memberi masukan dan terlibat dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bukan saja
kepada penulis, tetapi juga bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB
I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
1.2
Rumusan masalah
1.3
Tujuan
BAB
II PEMBAHASAN
2.1
Bilingualisme
2.2
Diglosia
2.3
Kaitan Bilingualisme dan diaglosa
BAB
III PENUTUP
3.1
Kesimpulan
3.2
Saran
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kehidupan
masyarakat, manusia memiliki alat komunikasi dan interaksi yaitu sebuah bahasa.
Sebenarnya manusia juga dapat menggunakan alat komunikasi lain selain bahasa.
Namun, tampaknya bahasa merupakan alat komunikasi yang paling baik, paling
sempurna dibandingkan dengan alat komunikasi lain, seperti alat komunikasi yang
dipakai hewan. Dalam setiap komunikasi, manusia saling menyampaikan informasi
yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara
langsung agar terjadi interaksi yang baik antar masyarakat.
Masyarakat yang
tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat tutur lain, entah karena
letaknya yang jauh terpencil atau karena sengaja tidak mau berhubungan dengan masyarakat tutur lain, maka masyarakat
tutur ini akan tetap menjadi masyarakat tutur yang statis dan tetap menjadi
masyarakat yang monolingual. Sebaliknya, masyarakat tutur yang terbuka, artinya
yang mempunyai hubungan dengan masyrakat tutur lain tentu akan mengalami apa
yang disebut kontak bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan sebagai
akibatnya. Peristiwa-peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai akibat
adanya kontak bahasa adalah apa yang di dalam sosiolingistik disebut
bilingualisme dan diglosia.
Indonesia sebagai
negara kepulauan memiliki ragam bahasa yang sangat banyak. Sehingga menyebabkan
banyaknya suku-suku bangsa di Indonesia yang memiliki bahasa yang berbeda-beda,
inilah yang memungkinkan masyarakat
Indonesia
memiliki dan menggunakan lebih dari satu bahasa. Penggunaan lebih dari satu
bahasa ini disebut dengan bilingualisme dan pengguna bahasa lebih dari satu
bahasa disebut bilingual. Meskipun demikian, Indonesia hanya memiliki satu
bahasa yang kemudian dijadikan bahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia.
Dalam makalah
ini, akan dibicarakan tentang bilingualisme dan diglosia, serta hubungan atau
kaitan antara keduanya.
B. Rumusan Masalah
Pada pembahasan
di atas dapat diidentifikasi rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana definisi dari bilingualisme?
2. Bagaimana definisi dari diglosia?
3. Bagaimana hubungan dari bilingualisme dan
diglosia?
C. Tujuan Masalah
Dari rumusan
masalah di atas dapat diambil tujuan masalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian dari
bilingualisme.
2. Untuk mengetahui pengertian dari
diglosia.
3. Untuk mengetahui hubungan dari
bilingualisme dan diglosia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Bilingualisme
Istilah
bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara harfiah
sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu
berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara
sosiolinguistik, bilingual diartikan sebagai pengguanaan dua bahasa oleh
seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey
1992:12, Fishman 1997:73). Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya
seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau
bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi
bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu
disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga
dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut
bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasawanan).
Konsep umum
bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa oleh seseorang penutur dalam
pergaulannya dengan orang lain secara bergantian telah menimbulkan sejumlah
masalah yang biasa dibahas kalau orang membicarakan bilingualisme.
Masalah-masalah itu adalah (Dittmer 1976:170):
1. Sejauh mana taraf
kemampuan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik) sehingga
dia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?
2. Apa yang dimaksud
dengan bahasa dalam bilingualisme ini? Apakah bahasa dalam pengertian langue,
atau sebuah kode, sehingga bisa termasuk sebuah dialek atau sosiolek.
3. Kapan seorang
bilingual mengguankan kedua bahasa itu secara bergantian? Kapan dia harus
menggunakan B1-nya, dan kapan pula harus menggunakan B2-nya? Kapan pula dia
dapat secara bebas untuk dapat menggunakan B1-nya atau B2-nya?
4. Sejauh mana
B1-nya dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi
B1-nya?
5. Apakah
bilingualisme itu berlaku pada perseorangan (seperti disebut dalam konsep umum)
atau juga berlaku pada satu kelompok masyarakat tutur?
Untuk dapat
menjawab pertanyaan pertama, “Sejauh mana penguasaan seseorang akan B2 (B1
tentunya dapat dikuasai dengan baik karena merupakan bahasa ibu) sehingga ia
dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?”
Bloomfield dalam
bukunya yang terkenal Language (1933:56) mengatakan bahwa bilingualisme adalah
kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya.
Jadi, seseorang dapat disebut bilingual apabila dapat menggunakan B1 dan b2
dengan derajat yang sama baiknya. Robert Lado (1964:214) mengatakan,
bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama
baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknik mengacu pada pengetahuan dua
buah bahasa bagaimanapun tingkatnya. Jadi, penguasaan terhadap kedua bahasa itu
tidak perlu sama baiknya, kurang pun boleh. Menurut Haugen (1961) tahu akan dua
bahasa atau lebih berarti bilingual. Menurut Haugen selanjutnya, seorang
bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, tetapi cukup
kalau bisa memahaminya saja. Haugen juga mengatakan, mempelajari bahasa kedua,
apalagi bahasa asing, tidak dengan sendirinya akan memberi pengaruh terhadap
bahasa aslinya. Lagi pula seseorang yang mempelajari bahasa asing, maka
kemampuan bahasa asingnya atau B2-nya akan selalu berada pada posisi di bawah
penutur asli bahasa itu.
Dari pembicaraan
di atas dapat disimpulkan sebagai jawaban terhadap pertanyaan pertama bahwa
pengertian bilingualisme akhirnya merupakan satu rentengan berjanjang mulai
menguasai B1 (tentunya dengan baik karena bahasa ibu sendiri) ditambah tahu
sedikit akan B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang berjenjang meningkat,
sampai menguasai B2 itu sama baiknya dengan penguasaan B1. Kalau bilingual
sudah sampai tahap ini, maka berarti seorang yang bilingual itu akan dapat
menggunakan B1 dan B2 sama baiknya, untuk fungsi dan situasi apa saja dan di
mana saja.
Pertanyaan kedua,
“Apakah yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme. Apakah bahasa itu sama
dengan langue, atau bagaimana?” Bloomfield (1933) mengatakan, bahwa menguasai
dua buah bahasa, berarti menguasai dua buah sistem kode. Kalau yang dimaksud
oleh Bloomfield bahwa bahasa itu adalah kode, maka berarti bahasa itu bukan
langue, malainkan parole, yang berupa berbagai dialek dan ragam. Menurut Mackey
(1962:12), bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian,
dari bahasa satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur. Untuk pengguanan dua
bahasa diperlukan penguasaan kedua bahasa itu dengan tingkat yang sama. Jadi,
jelas yang dimaksud dengan bahasa oleh Mackey adalah sama dengan langue. Tetapi
pakar lain, Weinrich (1968:12) memberi pengertian bahasa dalam arti luas, yakni
tanpa membedakaan tingkatan-tingkatan yang ada di dalamnya. Bagi Weinrich
menguasai dua bahasa berarti menguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam
dari bahasa yang sama. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Haugen (1968:10)
yang memasukan penguasaan dua dialek dari satu bahasa yang sama ke dalam
bilingualisme. Demikian juga pendapat Rene Appel (1976:176) yang mengatakan
bahwa apa yang dimaksud dua bahasa dalam bilingualisme adalah termasuk juga dua
variasi bahasa.
Dari pembicaraan
di atas dapat dilihat bahwa yang dimaksud dengan bahasa di dalam bilingualisme
itu sangat luas, dari bahasa dalam pengertian langue sampai berupa dialek atau
ragam dari sebuah bahasa. Kalau yang dimaksud dengan bahasa adalah dialek juga,
maka hampir semua anggota masyarakat Indonesia adalah bilingual, kecuali
anggota masyarakat tutur yang jumlah anggotanya sedikit, letaknya terpencil,
dan di dalamnya hanya terdapat satu dialek dari bahasa itu.
Pertanyaan
ketiga, “Kapan seorang bilingual mengguankan kedua bahasa yang dikuasai secara
bergantian? Kapan harus menggunakan B1-nya, kapan pula harus menggunakan B2-nya
dan kapan pula dia dapat secara bebas dapat memilih untuk menggunakan B1-nya
atau B2-nya?”
Mengenai pertanyaan ketiga, kapan B1 harus
digunakan dan kapan B2 harus dipakai. Pertanyaan ini menyangkut masalah pokok
sosiolinguistik, “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan
dengan tujuan apa”. B1 pertama-tama dan terutama dapat digunakaan dengan para
anggota masyarakat tutur yang sama bahasanya dengan penutur. Penggunaan B1 dan
B2 tergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan situasi sosial
pembicaraan. Jadi, penggunaan B1 dan B2 tidaklah bebas. Masalah ketiga, kapan
seorang penutur bilingual dapat secara bebas menggunakan B1 atau B2 adalah agak
sukar dijawab. Dalam catatan sosiolinguistik hanya didapati adanya satu
masyarakat tutur bilingual yang dapat secara bebas menggunakan salah satu
bahasa yang terdapat dalam masyarakat tutur itu, yaitu di Monteral, Kanada.
Pertanyaan
keempat, “sejauhmana B1 seorang penutur bilingual dapat mempengaruhi B2-nya,
atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya.”
Pertanyaan ini
menyangkut masalah kefasihan menggunakan kedua bahasa itu, dan kesempatan untuk
menggunakannya. Penguasaan B1 oleh seorang bilingual adalah lebih baik daripada
penguasaannya terhadap B2, sebab B1 adalah bahasa ibu, yang dipelajari dan
digunakan sejak kecil dalam keluarga, sedangkan B2 adalah bahasa yang baru
kemudian dipelajari, yakni setelah menguasai B1. Dalam keadaan penguasaan
terhadap B1 lebih baik dari pada B2, dan
juga kesempatan untuk mengguankannya lebih luas, maka ada kemungkinan B1 si
penutur akan mempengaruhi B2-nya. Seberapa jauh pengaruh B1 terhadap B2 adalah
tergantung pada tingkat penguasaannya terhadap B2. Kekurang fasihan seorang
penutur bilingual terhadap B2, sehingga B2-nya sering dipengaruhi oleh B1-nya
lazim terjadi pada para penutur yang sedang dipelajari B2 itu (Nababan,
1984:32).
Mungkinkah B2
seorang penutur bilingual akan mempengaruhi B1-nya? kemungkinan itu akan ada
kalau si penutur biligual itu dalam jangka watu yang cukup lama tidak
menggunakan B1-nya, tetapi terus menerus mengguanakn B2-nya.
Pertanyaan
kelima, “apakah bilingualisme itu terjadi pada perseorangan atau pada
sekelompok penutur atau yang lazim disebut satu masyarakat tutur?”
Pertanyaan ini
menyangkut hakikat bahasa dalam kaitanya dengan menggunakannya dalam masyarakat
tutur biligual. Mackey (1968:554-555) berpendapat bahwa bilingualisme bukan
gajala bahasa, melainkan sifat penggunaan bahasa yang diguanakan penutur biligual
secara berganti-ganti. Bilingualisme juga bukan ciri kode, melainkan ciri
ekspresi atau pengungkapan seorang penutur. Begitupun bukan bagian dari langue,
melainkan bagian dari parole. Mackey juga mengungkapkan kalau bahasa itu
memiliki kelompok atau milik bersama suatu masyarakat tutur, maka bilingualisme
adalah milik individu-individu para penutur, sebab pengguaan bahasa secara
bergantian oleh seorang penutur bilingual mengharuskan adanya dua masyarakat
tutur yang berbeda. Menurut Oksaar (1972:478), bahwa bilingualisme bukan hanya
milik individu, tetapi juga milik kelompok. Sebab bahasa itu pengguaannya tidak
terbatas antara individu dan individu saja, melainkan juga digunakan sebagai
alat komunikasi antar kelompok.
Chaer (1994)
mengatakan, bahasa itu bukan sekedar alat komunikasi saja, melainkan sebagai
alat untuk menunjukan identitas kelompok. Konsep bahwa bahasa merupakan
identitas kelompok memeberi peluang untuk menyatakan adanya sebuah masyarakat
tutur yang bilingual, yang menggunakan dua buah bahasa sebagai alat
komunikasinya. Masyarakat tutur yang demikian tidak hanya terbatas pada
sekelompok orang, malah bisa juga meluas meliputi wilayah yang sangat luas,
mungkin juga meliputi satu negara. Seperti dikatakan Wolf (1974:5) salah satu
ciri bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa atau lebih oleh seorang
atau sekelompok orang dengan tidak adanya peranan tertentu dari kedua bahasa
itu. Artinya, kedua bahasa itu dapat diguanakan kapada siapa saja, kapan saja,
dan dalam situasi bagaimana saja. Pemilihan bahasa mana yang harus diguanakan
tergantung pada kemampuan si pembicara dan lawan bicaranya.
Keadaan di dalam
masyarakat di mana adanya pembedaan pengguaan bahasa berdasarkan fungsi atau
peranaanya masing-masing menurut konteks sosialnya, didalam sosiolinguistik
dikenal dengan sebutan diglosia.
B.
Diglosia
Kata diglosia
berasal dari bahasa Prancis diglossie, yang pernah digunakan oleh Marcais,
seorang linguis Prancis. Tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi
linguistik setelah digunakan oleh seorang sarjana dari Stanford University,
yaitu C.A.Ferguson tahun 1958 dalam suatu simposium tenteng “Urbanisasi dan
bahasa-bahasa standar” yang diselenggarakan oleh American Anthropological
Association di Washignton DC. Kemudian Ferguson menjadikan lebih terkenal lagi
dengan sebuah artikelnya yang berjudul “Diglosia” yang dimuat dalam majalah
Word tahun 1959. Artikel Ferguson itu dipandang sebagai referensi klasik
mengenai diglosia.
Ferguson
menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana
terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing
mempunyai peranan tertentu. Definisi diglosia menurut Ferguson adalah:
1.
Diglosia adalah suatu situasi
kebahasaan yang relatif stabil, di mana selain terdapat sejumlah dialek-dialek
utama dari satu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain.
2.
Dialek-dialek utama itu di antaranya,
bisa berupa sebuah dialek standar, atau sebuah standar regional.
3.
Ragam lain itu memiliki ciri:
•
Sudah terkodifikasi
•
Gramatikalnya lebih kompleks
•
Merupakan wahana kesusastraan tertulis
yang sangat luas dan dihormati
•
Dipelajari melalui pendidikan formal
•
Digunakan terutama dalam bahasa tulis
dan bahasa lisan formal
•
Tidak digunaakan dalam percakapan
sehari-hari
Diglosia ini
dijelaskan oleh Ferguson dengan mengetengahkan sembilan topik, yaitu:
1.
Fungsi, merupakan kriteria diglosia
yang sangat penting. Menurut Ferguson dalam masyarakat diglosis terdapat dua
variasi dari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi (T), dan yang
kedua disebut dialek rendah (R).
2.
Prestise, dalam masyarakat diglosis
para penutur biasanya menganggap dialek T lebih bergengsi, lebih superior,
lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap
inferior, malah ada yang menolak keberadaannya.
3.
Warisan Kesusastraan, pada tiga dari
empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapat kesusastraan di
mana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa tersebut.
4.
Pemerolehan, ragam T diperoleh dengan
mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R diperoleh dari
pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.
5.
Standardisasi, karena ragam T
dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan kalau
standardisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kondifikasi formal.
6.
Stabilitas, kestabilan dalam
masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama di mana ada sebuah variasi
bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu.
7.
Gramatika, Ferguson berpandangan bahwa
ragam T dan ragam R dalam diglosia merupakan bentuk-bentuk dari bahasa yang
sama. Namun, di dalam gramatika ternyata terdapat perbedaan.
8.
Leksikon, sebagian besar kosakata pada
ragam T dan ragam R adalah sama. Namun, ada kosakata pada ragam T yang tidak
ada pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya, ada kosakata ragam R yang tidak
ada pasangannya pada ragam T.
9.
Fonologi, dalam bidang bidang fonologi
ada perbedaan struktur antara ragam T dan ragam R. Perbedaan tersebut bisa
dekat bisa juga jauh.
Pada bagian akhir
dari artikel Ferguson menyatakan bahwa suatu masyarakat digllosis bisa bertahan
dalam waktu yang cukup lama meskipun terdapat “tekanan-tekanan” yang dapat
melunturkannya. Tekanan itu antara lain, (1) meningkatkan kemampuan keaksaraan
dan meluasnya komunikasi verbal pada satu negara; (2) meningkatnya penggunaan
bahasa tulis; (3) perkembangan nasionalisme dengan keinginan adanya sebuah
bahasa nasional sebagai lambang kenasionalan suatu bangsa.
Juga
dipersoalkan, ragam mana yang akan dipilih menjadi bahasa nasional, ragam T
atau ragam R. Dalam hal ini ada dua kemungkinan. Pertama, ragam R dapat menjadi
bahasa nasional karena ragam itulah yang dipakai dalam masyarakat. Kedua, ragam
T yang akan menjadi bahasa nasional atau bahasa standar, asal saja (1) ragam T
itu sudah menjadi bahasa standar pada sebagian masyarakat, (2) apabila
masyarakat diglosis itu menyatu dengan masyarakat lain.
C.
Kaitan
Bilingualisme dan Diglosia
Diglosia
diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa dan
bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam
masyarakat, maka Fishman (1977) menggambarkan hubungan diglosia dan
bilingualisme itu menjadi empat jenis, (1) bilingualisme dan diglosia, (2)
bilingualisme tanpa diglosia, (3) diglosia tanpa bilingualisme, (4) tidak
bilingualisme dan tidak diglosia.
Dari keempat pola
masyarakat kebahasaan di atas yang paling stabil hanya dua yaitu, (1) diglosia
dan bilingualisme, (2) diglosia tanpa bilingualisme. Keduanya berkarakter
diglosia, sehingga perbedaanya adalah terletak pada bilingualismenya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bilingualisme
atau kedwibahasaan yakni berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode
bahasa. Secara umum dalam sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai
penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain
secara bergantian. Diglosia berasal dari bahasa Prancis, diglossie. Diglosia
digunakan untuk menyatakan suatu masyarakat yang di sana terdapat dua variasi
dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranaan
tertentu.
B. Saran
Dengan membaca
makalah ini penulis berharap agar para pembaca dapat mengambil hikmah sehingga
bisa bermanfaat. Dan tentunya, penulis sadari bahwa dalam makalah ini terdapat
banyak kelemahan. Dengan demikian, suatu kegembiraan kiranya jika terdapat
banyak kritik dan saran dari pembaca sebagai bahan pertimbangan untuk
perjalanan ke depan.
DAFTAR PUSTAKA
•
Chaer, Abdul. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar